BAB
1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Singkong adalah salah satu ubi kayu yang di miliki
indonesia dan terbesar dan memiliki peringkat ke tiga dari negara Brazil.
Singkong juga salah satu bahan pangan yang penting di indonesia, singkong juga
sangat penting dalam perekonomian di indonesia dan permintaan dalam industri di dunia semakin meningkat.
Singkong di indonesia juga mengalami penyusutan factor yang mempengaruhi
penurunannya singkong di indonesia kurangnya bibit yang di sediakan (bibit unggul),
petani indonesia dalam menanam singkong tidak menggunakan syarat pertumbuhan
melainkan mereka menggunakan cara tradisonal seperti memotong batang dan di
tancapkan langsung ke tanah tanpa perlakuan yang khusus, maka dengan itulah
singkong di indonesia mengalami penurunan.
Metode
yang digunakan dalam menanam singkong bisa menggunakan metode single bud dengan menggunakan suatu
teknologi inovasi produksi sedangkan Columbia menggunakan metode single bud biasanya metode ini dilakukan
pada budidaya tebu dalam menggunakan metode ini Colombia mampu meningkatkan
produktifitas tebu. Sebagai warga negara indonesia seharusnya bisa meningkatkan
produktifitas singkong dan mampu meningkatkan hasil singkong, supaya singkong
di Indonesia mampu bersaing dengan negara lain, bibit unggul yang di butuhkan
sebaiknya di siapkan di setiap daerah lain agar singkong yang di hasilkan
berkualitas dan terjamin.
Dalam
pembibitan (singkong) sebaiknya menggunakan singkong yang berkualitas agar
hasil dari singkong yang di tanam akan berkualitas, namun dalam melakukan
penanaman bibit singkong memerlukan perlakuan khusus seperti memberikan. Zat
Pengatur Tumbuh (ZPT) dan melakukan pemberian pupuk lainnya, ZPT adalah zat
yang mempengaruhi pertumbuhan fisologi pada tanaman. Zat yang di gunakan dalam
pembibitan adalah Rootone-F, zat pengatur tumbuh Rootone-F adalah formulasi
dari beberapa zat seperti: NAA, IAA, IBA. IBA adalah zat yang memengaruhi
percepatan akar dan memperbnyak perakaran. Hormon yang terkandung dalam
Rootone-F juga di temukan secara alami di dalam urin sapi, urin sapi juga
sangat bermanfaat dalam pertumbuhan dan tidak sulit untuk di dapatkan dan tidak
mencemari lingkungan.
Menggunakan
zat pengatur tumbuh IBA (konsentrasi 0, 1000, dan 3000 pmm) dan Rootone-F
(konsentras 0, 50, dan 100 mg/anakan)yang akan meningkatkan perakaran yang
lebih banyak.
1.2
Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum teknologi dan inovasi
produksi pertanian dengan judul Pengaruh Zpt Terhada Pertumbuhan Bibit Single
Bud Singkong (Manihot Esculenta) tersebut adalah :
1.
Untuk mengetahui metode pembibitan
singel bud.
2.
Untuk mengetahui pengaruh zat
pengatur tumbuh rootone F- terhadap pertumbuhan bibit singkong singel bud.
3.
Untuk mengetahui konsentrasi zat
pengatur tumbuh yang efektif dalam pembibitan singel bud singkong.
BAB
2. TINJAUAN PUSTAKA
Stabilitas
tunas perlu dijaga dengan memodifi kasi komposisi zat pengatur tumbuh (ZPT),
terutama rasio auksin: sitokinin, disesuaikan dengan tingkat mikropropagasi
tunas. Konsentrasi ZPT yang dibutuhkan saat induksi tunas akan berbeda dengan
saat multiplikasi tunas berulang, dan perlu disesuaikan dengan genotipe yang
digunakan. Penambahan ZPT ke dalam media in vitro sangat efektif dalam
mengontrol pertumbuhan tanaman dengan mempengaruhi proses biokimia tanaman.
Terlepas dari pengaruh genotipe, laju proliferasi dan pemanjangan tunas
dipengaruhi oleh tipe sitokinin dan konsentrasinya. Dalam kultur in vitro pisang,
biasanya digunakan sitokinin jenis adenin misalnya 6-benzylaminopurine (BAP).
Sitokinin eksogen berfungsi sebagai faktor pendorong multiplikasi. Rekomendasi
konsentrasi optimum BAP untuk mikropropagasi pisang adalah 20 μM (Kasutjianingati,
2011).
Potensi singkong sebagai pakan
ternak pemanfaatanya belum maksimal karena rendahnya kandungan gizi dan
terdapat zat anti nutrisi yaitu asam sianida (HCN). HCN merupakan faktor
pembatas penggunaan kulit singkong sebagai pakan ternak. Salah satu usaha yang
d ilakukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dan kandungan gizi terutama
protein serta mengurangi atau menghilangkan zat anti nutrisi (sianida) yang
dikandung bahan pakan adalah melalui teknologi fermentasi secara anaerob yang
di suplementasi dengan bakteri Leuconostoc mesenteroides (Sandi, 2013).
Peningkatan produksi tanaman selain
dilakukan dengan inovasi pembibitan juga diperlukan penambahan ZPT. Zat
pengatur tumbuh berperan dalam stimulasi pertumbuhan dengan memberi isyarat
pada target untuk membelah atau memanjang. selain menjadi memacu pertumbuhan,
beberapa jenis ZPT juga berperan dalam menghambat pertumbuhan tanaman. pengaruh
dari suatu ZPT bergantung pada jenis dan spesies tumbuhan, situs aksi ZPT
tumbuhan,tahap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta konsentrasi ZPT
(Abdurrahman, D., 2008).
Auksin merupakan zat pengatur tumbuh
yang berperan dalam proses pemanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi
jaringan pembuluh dan inisiasi akar (Heddy 1996). Salah satu produk komersial
yang mengandung zat pengatur tumbuh auksin dan banyak digunakan adalah Rootone
F. Berdasarkan label kemasannya Rootone F mengandung zat pengatur tumbuh dari
golongan auksin dan Fungisida. Bahan-bahan yang terkandung dalam Rootone F
adalah NAA, NAD, MNAA, IBA dan Thyram. Dari beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh auksin mampu memacu pembentukan akar dan
pertumbuhan anakan. Penggunaan Rootone F 200 ppm dapat meningkatkan pertumbuhan
stek anakan tanaman bambu Jepang (Aini dkk., 1999). Pemberian Rootone F pada
stump dan anakan gaharu memberikan persentase tumbuh dan jumlah daun paling
tinggi dibandingkan atonik dan tanpa ZPT (Dessi, 2012).
Singkong dikalikan terutama oleh
batang stek yang merupakan proses yang lambat dibandingkan dengan tanaman
biji-bijian (Santana et al., 2009). Penyakit juga sering menumpuk di stek
batang sehingga tanaman yang terinfeksi dan rendah hasil. Petani skala kecil
memperoleh bahan tanam dari tetangga, selama perjalanan atau sebagai tanaman
relawan kiri dalam bera (Mutegi, 2009). Hal ini memberikan kontribusi terhadap
hama dan akumulasi penyakit dan penyebaran. tantangan lain dengan stek meliputi
rusaknya tinggi karena mereka kering dalam waktu beberapa hari, penanganan
tinggi dan biaya transportasi dan berat nyaman dan sebagian besar materi. Hal
ini membuat kultur jaringan yang penting teknologi dalam mendirikan sistem
perbenihan singkong (Kwame, 2012).
Penggunaan singkong pati untuk
produksi inti pasir belum ekstensif dilaporkan dalam literatur, dan karenanya perlu
untuk menyelidiki potensinya dalam hal ini. sejak singkong merupakan sumber
yang murah pati berlimpah dengan karakteristik ikatan yang sangat baik, pati
singkong memiliki Oleh karena itu dipilih untuk penyelidikan. ini bekerja
bertujuan untuk menghasilkan core pasir menggunakan singkong pati sebagai
pengikat dan mengevaluasi kesesuaian mereka di hal kekuatan tekan mereka untuk
pengecoran paduan aluminium T-Joint pipa. Tujuan ini bekerja adalah untuk
memanfaatkan bahan baku local (pati singkong dan pasir Ojolofe) untuk
menghasilkan core; menentukan kekuatan tekan yang dihasilkan core, bandingkan
sifat diamati dengan orang-orang core standar dan, dan mengevaluasi kesesuaian diproduksi
core dengan casting aluminium pipa T-Joint (Opaluwa, 2012).
Menurut Rahardja dan Wiryanta, W.
(2006), zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dan memiliki kandungan yang
lengkap adalah Rootone-F yang memiliki komposisi naftalenasetamide 0,067%, meti
l- naftalenasetamida 0,13 %, metil-1-naftalenasetatc 0,033%, indol-3-butirat
0,057% dan tiram 4% . Hormon yang terkandung dalam Rootone-F juga di temukan
secara alami di dalam urin sapi, urin sapi juga sangat bermanfaat dalam
pertumbuhan dan tidak sulit untuk di dapatkan dan tidak mencemari lingkungan
Singkong (Manihot
esculanta) merupakan tanaman yang tumbuh dengan baik pada iklim tropis.
Tanaman ini termasuk dalam golongan tanaman semak tahunan yang mampu tumbuh
tinggi mencapai 1-3 m. Temperatur ideal untuk pertumbuhan tanaman singkong
adalah 20o. Bagian tanaman yang sering digunakan dan dimanfaatkan adalah bagian
daun dan akarnya. Kadar karbohidrat yang dikandung oleh buah (umbi) singkong
cukup tinggi,, namun kandungan proteinnya sangat rendah. Sedangkan pada
daunnya, kandungan proteinnya lebih besar. Zat yang di gunakan dalam pembibitan
adalah Rootone-F, zat pengatur tumbuh Rootone-F adalah formulasi dari beberapa
zat seperti: NAA, IAA, IBA (Food Standards Australia New Zealand, 2004).
BAB
3. METODOLOGI
3.1
Waktu dan Tempat
Praktikum Teknologi
Inovasi Produksi Pertanian dengan judul Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap
Pertumbuhan Bibit Single Bud Singkong (Manihot
esculenta), dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Dasar Fakultas
Pertanian Universitas Jember pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013 pada jam
15.00 sampai selesai.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1
Alat
1.
Gergaji/pisau pemotong
2.
Gelas air mineral
3.
Pipet
4.
Gelas ukur
5.
Beaker glass
6.
Spatula
7.
Handsprayer (alat semprot)
3.2.2
Bahan
1.
Batang singkong
2.
Rootone-F
3.
Aquades
4.
Media tanam (pasir, kompos, tanah)
3.3 Cara Kerja
1.
Persiapkan alat dan bahan.
2.
Pilih bahan tanam (batang
singkong) yang memiliki kualitas tinggi.
3.
Potong batang singkong (dengan
panjang masing – masing 1 cm) diantara mata tunas.
4.
Celupkan / rendam batang singkong
yang telah dipotong tersebut kedalam larutan Rootone-F (konsentrasi 100 ppm,
200 ppm dan 300 ppm) masing – masing buat 5 kali ulangan. Sebagai pembanding
buat kontrol (tanpa perlakuan Rootone-F.
5.
Tancapkan stek pada media tanam
(campuran pasir, tanah, kompos perbandingan 1:1:1) yang telah disediakan selama
4-5 minggu, kemudian siram air secukupnya.
6.
Peliharalah tanaman dengan
melakukan penyiraman setiap hari selama 2-4 minggu.
3.4 Pengamatan
Pengamatan
pertama (H0) dilakukan satu minggu (7 hari) setelah tanam. Selanjutnya lakukan
pengamatan ke-2 dengan seterusnya setiap 3 hari sekali selama 2-4 minggu,
dengan parameter pengamatan sebagai berikut:
1.
Tinggi tanaman.
2.
Jumlah daun.
3.
Panjang dan lebar daun.
4.
Jumlah dan panjang akar (pada
akhir pengamatan).
BAB
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan
Dari hasil pengamatan yang
sudah di lakukan pada H0 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi
tanaman mencapai 0,36 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai
tinggi 0,74 cm dan perlakuan 200 ppm dan 300 ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan
hasil yang di peroleh 0. Jadi untuk H0 perlakuan yang terbaik yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai
0,74 cm.
Pengamatan pada H3 hasil yang
di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 0,6 cm, sedangkan
hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 1,12 cm dan perlakuan 200 ppm
tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan
pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 0,1cm. Jadi untuk H3 perlakuan yang
terbaik yaitu pada perlakuan 100 ppm
yang mencapai 1,12 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang
tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H6 hasil yang
di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 0,66 cm, sedangkan
hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 2,82cm dan perlakuan 200 ppm tidak
ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada
perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 0,74 cm. Jadi untuk H3 perlakuan yang
terbaik yaitu pada perlakuan 100 ppm
yang mencapai 2,82 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang
tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H9 hasil yang
di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 1,2 cm, sedangkan
hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 5,12cm dan perlakuan 200 ppm tidak
ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada
perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 2,46, pada H9 perlakuan 300 ppm melebihi
tinggi dari pada perlakuan kontrol. Jadi
untuk H9 perlakuan yang terbaik yaitu
pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 5,12 cm, perlakuan yang palik buruk adalah
perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H12 hasil
yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 2,52 cm,
sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 7,44 cm dan perlakuan
200 ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0,
sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 5,48 cm, pada perlakuan 300
ppm sangat cepat pertumbuhan tingginya dari pada perlakuan lainnya. Jadi untuk H12 perlakuan yang terbaik yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 7,44
cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada
tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H15 hasil
yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 5,28 cm,
sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 11,68cm dan perlakuan 200
ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0,
sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 10,7 cm, untuk pada H15
perlakuakan 300 ppm hampir mendekati tinggi perlakuan 100 ppm, perlakuan yang
palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada
perubahan.
Pengamatan pada H18 hasil
yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 7,9 cm,
sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 15 cm dan perlakuan 200
ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0,
sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 12,24 cm, Jadi untuk H18 perlakuan yang terbaik yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 15
cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada
tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H21 hasil
yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 11,8 cm,
sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 19,86 cm dan perlakuan 200
ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi
tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai
tinggi 14,6 cm, Jadi untuk H21 perlakuan
yang terbaik yaitu pada perlakuan 100
ppm yang mencapai 19,86 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm
yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H24 hasil
yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 19,8 cm,
sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 27,1cm dan perlakuan 200
ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi
tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai
tinggi 22,2 cm, Jadi untuk H24 perlakuan
yang terbaik yaitu pada perlakuan 100
ppm yang mencapai 27,1 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm
yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H27 hasil
yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 25,2 cm,
sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 28,46cm dan perlakuan 200
ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi
tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai
tinggi 25,02 cm, Jadi untuk H27
perlakuan yang terbaik yaitu pada
perlakuan 100 ppm yang mencapai 28,46 cm, perlakuan yang palik buruk adalah
perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Perlakuan pada H0-H27 mengalami
peningkatan pada grafik yang sudah di buat. Namun, pada perlakuan 200 ppm tidak
mengalami perubahan pada H0-H27 yang hasil yang di peroleh 0, sehingga pada
perlakuan 200 ppm tidak adanya grafik yang di tunjukan, jadi perlakuan yang
terbaik pada H0-H27 yang tingginya terus meingkat pada perlakuan 100 ppm dan
perlakuan terburuk yang tidak ada peningkatan pada perlakuan 200 ppm.
Pengamatan pada jumlah daun
yang sudah di lakukan pada singkong pada H0-H3, perlakuan kontrol, 100 ppm, 200
ppm dan 300 ppm, tidak ada perubahan atau pertumbuhan pada jumlah daun. pada H6
untuk jumlah daun hanya perlakuan 100 ppm yang jumlahnya sebanyak 5, sedangkan
untuk perlakuan kontrol, 200 ppm dan 300 ppm tidak adanya perubahan dengan
jumlah daun, Pada H9 jumlah daun pada perlakuan kontrol sebanyak 4, namun pada
perlakuan 100 ppm mengalami penurunan yang sebelumnya 5 daun berubah menjadi 3
daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan
atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan
300 ppm jumlah dun sebanyak 2. Pada H12 jumlah daun pada perlakuan kontrol
mengalami peenurunan yang awalnya sebanyak 4 berubah menjadi 2, namun pada
perlakuan 100 ppm mengalami perubahan yang sebelumnya 3 daun berubah menjadi 4
daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan
atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan
300 ppm jumlah dun sebanyak 3. Pada H15 jumlah daun pada perlakuan kontrol
sebanyak 2, namun pada perlakuan 100 ppm jumah daun 4 daun, pada perlakuan 200
ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami
pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun
sebanyak 4. Pada H18 jumlah daun pada perlakuan kontrol sebanyak 3, namun pada
perlakuan 100 ppm jumah daun 4 daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada
daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang
jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun sebanyak 4. Pada H21 jumlah
daun pada perlakuan kontrol sebanyak 4, pada perlakuan 100 ppm jumah daun 4
daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan
atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan
300 ppm jumlah dun sebanyak 4.
Pada H24 jumlah daun pada
perlakuan kontrol sebanyak 4, pada perlakuan 100 ppm jumah daun 5 daun, pada
perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak
mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm
jumlah dun sebanyak 4. Pada H27 jumlah daun pada perlakuan kontrol sebanyak 4,
pada perlakuan 100 ppm jumah daun 5 daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan
pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun
yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun sebanyak 5. Jadi
perubahan ataupun perlakuan yang terbaik adalah perlakuan 300 ppm yang pada
H0-H27 selalu mengalami perubahan jumlah dain yang semakin banyak, dan
perlakuan yang buruk pada perlakuan 200 ppm yang dari H0-H27 tidak adanya
perubahan pada ataupun jumlah daun yang tumbuh.
Pada pengamatan lebar daun
yang sudah di lakukan pada singkong pada H0-H3, perlakuan kontrol, 100 ppm, 200
ppm dan 300 ppm, tidak ada perubahan atau pertumbuhan pada lebar daun. pada H6
untuk lebar daun hanya perlakuan 100 ppm yang lebarnya 0,2 cm, sedangkan untuk
perlakuan kontrol, 200 ppm dan 300 ppm tidak adanya lebar daun, Pada H9 lebar
daun pada perlakuan kontrol 0,12 cm, namun pada perlakuan 100 ppm lebar pada
daun 0, 88 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami
perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan
perlakuan 300 ppm lebar daun dun 0,22. Pada H12 lebar daun pada perlakuan
kontrol 0,28 cm, pada perlakuan 100 ppm lebar pada daun 1,74 cm, pada perlakuan
200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami
pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun
0,38. Pada H15 lebar daun pada perlakuan kontrol 2 cm, namun pada perlakuan 100
ppm lebar pada daun 2,24 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak
mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0
dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 0,48. Pada H18 mengalami penyusutan yang
awalnya lebar daun pada perlakuan kontrol 2 cm menjadi 0,84 cm, pada perlakuan
100 ppm lebar pada daun 2,48 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun
tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar
daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 1,06. Pada H21 lebar daun pada
perlakuan kontrol 1,04 cm, pada perlakuan 100 ppm lebar pada 5,94 cm, pada
perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak
mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar
daun dun 1,3 cm.
Pada H24 lebar daun pada
perlakuan kontrol 1,14 cm, pada perlakuan 100 ppm lebar pada 9,18 cm, pada
perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak
mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar
daun dun 1,72 cm. Pada H27 lebar daun pada perlakuan kontrol 2,1 cm, pada
perlakuan 100 ppm lebar pada 10,1 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada
daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang
lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 1,92 cm. Jadi perlakuan yang
terbaik pada lebar daun pada perlakuan 100 ppm yang lebar daunnya dari H0-H27
mengalami peningkatan dan perlakuan yang buruk pada perlakuan 200 ppm yang dari
H0-H27 tidak adanya perubahan pada ataupun lebar daun.
Pada pengamatan panjang daun yang sudah di lakukan pada
singkong pada H0-H3, perlakuan kontrol, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm, tidak ada
perubahan atau pertumbuhan pada panjang daun. pada H6 untuk panjang daun hanya
perlakuan 100 ppm yang panjangnya 0,68 cm, sedangkan untuk perlakuan kontrol,
200 ppm dan 300 ppm tidak adanya lebar daun, Pada H9 panjang daun pada
perlakuan kontrol 0,6 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 2,04 cm, pada
perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak
mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar
daun daun 1cm. Pada H12 panjang daun pada perlakuan kontrol 0,8 cm, pada
perlakuan 100 ppm panjang daun 3,86 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada
daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang
panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 1,66 cm. Pada H15 panjang
daun pada perlakuan kontrol 1,92 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 4,16 cm,
pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau
tidak mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm
lebar daun daun 1,7 cm. Pada H18 panjang daun pada perlakuan kontrol 3,26 cm,
pada perlakuan 100 ppm panjang daun 5,16 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan
pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun
yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 4,04 cm. H21 panjang
daun pada perlakuan kontrol 4,88 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 5,84
cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau
tidak mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm
lebar daun daun 4,98 cm.
Pada H24 panjang daun pada
perlakuan kontrol 5,18 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 7,4 cm, pada
perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak
mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar
daun daun 5,6 cm. Pada H27 panjang daun pada perlakuan kontrol 7,14 cm, pada
perlakuan 100 ppm panjang daun 7,6 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada
daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang
panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 6,76 cm. Jadi panjang daun
yang terbaik pada perlakuan kontrol yang H27 mencapai 7,14 cm, perlakuan yang
buruk pada perlakuan 200 ppm yang dari H0-H27 tidak adanya perubahan pada
ataupun panjang daun.
Pengamatan pada panjang akar
singkong setelah selesai pengamatan panjang daun, lebar daun, jumlah daun.
Panjang akar pada perlakuan kontrol pada ulangan 1 mencapai 17,5 cm, pada 100
ppm ulangan 1 mencapai 13 cm, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna
sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang
akar, pada 300 ppm ulangan 1 mencapai 13,7 cm. Perlakuan kortrol pada ulangan 2
mencapai 15,3 cm, pada 100 ppm ulangan 2
mencapai 14 cm, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga
tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang akar, pada
300 ppm ulangan 2 mencapai 14,2 cm. Perlakuan kortrol pada ulangan 3 mencapai
20 cm, pada 100 ppm ulangan 3 mencapai
13,5 cm, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman
singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang akar, pada 300 ppm
ulangan 3 mencapai 16,2cm.. Perlakuan kortrol pada ulangan 4 mencapai 22 cm,
pada 100 ppm ulangan 4 mencapai 13 cm,
pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada
perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang akar, pada 300 ppm ulangan 4
mencapai 0 cm. Perlakuan kortrol pada ulangan 5 mencapai 19 cm, pada 100
ppm ulangan 5 mencapai 17,5 cm, pada 200
ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada
perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang akar, pada 300 ppm ulangan 4
mencapai 13 cm. Jadi perlakuan yang terbaik di lihat dari panjang akar pada
rata-rata terbaik pada perlakuan kontrol yang jumlahnya 18, 8 cm dan yang
terburuk pada perlakuan 200 ppm pada ulangan 1-5 pertumbuhan pada akar tidak
ada sama sekali atau tidak tumbuh.
Pengamatan
pada jumlah akar singkong setelah selesai pengamatan panjang daun, lebar daun,
jumlah daun. Jumlah akar pada perlakuan kortrol pada ulangan 1 sebanyak 22, pada
100 ppm ulangan 1 sebanyak 31, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak
sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada
jumlah akar, pada 300 ppm ulangan 1 sebanyak 8. Pada perlakuan kortrol pada
ulangan 2 sebanyak 7, pada 100 ppm ulangan 2 sebanyak 24, pada 200 ppm
mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan
ppm ulangan 1-5 tidak ada jumlah akar, pada 300 ppm ulangan 2 sebanyak 37. Pada
perlakuan kortrol pada ulangan 3 sebanyak 13, pada 100 ppm ulangan 3 sebanyak
23, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong
pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada jumlah akar, pada 300 ppm ulangan 3
sebanyak 26. Pada perlakuan kortrol pada ulangan 4 sebanyak 17, pada 100 ppm
ulangan 4 sebanyak 19, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna
sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada jumlah akar,
pada 300 ppm ulangan 3 sebanyak 0. Pada perlakuan kortrol pada ulangan 5
sebanyak 17, pada 100 ppm ulangan 5 sebanyak 13, pada 200 ppm mengalami proses
yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5
tidak ada jumlah akar, pada 300 ppm ulangan 3 sebanyak 37. Jadi perlakuan yang
terbaik di lihat dari jumlah akar pada rata-rata terbaik pada perlakuan 100 ppm
yang banyaknya 26 dan yang terburuk pada perlakuan 200 ppm pada ulangan 1-5
pertumbuhan pada akar tidak ada sama sekali atau tidak tumbuh.
Teknik
single bud yaitu dengan cara pemotongan bibit singkong yang di lakukan pada batang
singkong dan cara penanaman batang tersebut tidak tgak melaikan miring atau
tidur dan tujuannya dari single but hanya untuk pembibitan bukan untuk
menghasilkan umbinya, dan teknik ini menggunakan satu mata tunas, pada umumnya
teknik ini di gunakan dalam pembibitan tebu, metode ini belom pernah di lakukan
untuk pembibitan singkong, sehingga perlu adanya teknologi inovasi produksi
pertanian, sehingga dengan adanya single bud ini akan meningkatnya produksi
singkong. kelebihan dari single bud, mempunyai daya tubuh seragam, jumlah
anakan lebih banyak dari pada pembibitan konvensional, hemat tempat dalam
proses pembibitan, biaya yang di butuhkan tidak terlalu mahal, proses lebih
singkat. Kekurangan, biaya pembelian alat-alat cukup mahal, jumlah anakan
kurang optimal jika di tanam di daerah curah hujan yang tinggi, harus ada
inovasi peralatan.
Pengaruh ZPT (zat pengatur
tumbuh) untuk memacu perkecambahan. Zat pengatur tumbuh Rootone-F adalah
formulasi dari beberapa zat seperti: Napthalene Acetic Acid (NAA), Indole
Acetic Acid (IAA), dan IBA yang berbentuk tepung berwarna putih kotor dan sukar
larut dalam air. Komposisi bahan aktif Rootone-F adalah Napthalene Acetamida
(NAA) 0,067 %; 2-metil-1-Napthalene Acetatamida (MNAD) 0,013 %;
2-metil-1-naftalenasetat 0.33%; 3-Indol butyric Acid (IBA) 0,057 % dan Thyram
(Tetramithiuram disulfat) 4,00 %. NAD, NAA dan IBA. IBA merupakan senyawa
organik yang dapat mempercepat dan memperbanyak perakaran. Thyram merupakan
senyawa organik yang berfungsi sebagai fungisida. Hormon yang terkandung di
dalam Rootone-F ini juga ditemukan secara alami di dalam urin sapi. Dengan
demikian, pada konsentrasi yang tepat, urin sapi juga bermanfaat sebagaimana
zat pengatur tumbuh. Keuntungan dari pemakaian urin sapi adalah mudah didapat
dengan harga murah, serta tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Pemberian
Rootone-F pada stum dan anakan gaharu memberikan persentase tumbuh dan jumlah
daun paling tinggi dibandingkan atonik dan tanpa ZPT (zat pengatur tumbuh).
Hubungan teknik single bud
dengan teknologi inovasi produksi pertanian dengan adanya teknik single but ini
maka akan mempercepat produksi pertanian dan hasil dari penggunaan single bud
sangat di butuhkan dan bibit yang di gunakan bibit unggul sehingga menggunakan
teknik ini produksi pertanian di Indonesia bisa menyamakan dengan produksi luar
negeri yang bisa memasarkan hasil yang telah di peroleh dengan menggunakan
teknik single bud tersebut.
BAB 5.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
kesimpulan
Setelah
melakukan pengamatan hasil dari tabel dan grafik tinggi tanaman yang terbaik
pada perlakuan 100 ppm yang pada H0-H27 mengalami kenaikan dan pertumbuhan pada
perlakuan 100 ppm dengan pesat. Pada table dan grafik jumlah tanaman perlakuan
yang terbaik pada perlakuan 300 ppm dimana jumlah daun meningkat terus. Pada
lebar daun yang terbaik pada perlakuan 100 ppm lebar daun yang pertumbuhannya
cepat dan lebar pada H27 mencapai 10.1 cm. Pada panjang daun hasil yang terbaik
pada perlakuan kontrol yang pada H27 mengalami pertumbuhan yang pesat mencapai
7,14 cm. Untuk panjang akar yang terbaik setelah di rata-rata pada perlakuan
kontrol yang panjangnya 18,8 cm. Jumlah akar yang terbaik pada perlakuan yang
sudah di rata-rata pada perlakuan 100 ppm sebanyak 26.
5.2
Saran
Sebaiknya dalam melakukan
praktikum dengan cara menggunakan teknik single bud di lakukan dengan benar
agar tidak ada kegagalan dalam melakukannya, sehingga bisa mengetahui seberapa
besar hasil yang sudah di lakukan dengan cara menggunakan teknik single bud.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman, D.,
2008. Biologi Kelompok Pertanian dan Kesehatan Jilid 2. Bandung : Grafindo
Media Pratama.
Sandi, Y.O,
Rahayu, S, dan Suryapratama, W. 2013. Upaya
peningkatan kualitas kulit singkong melalui fermentasi menggunakan leuconostoc
mesenteroides pengaruhnya terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik
secara in vitro. Jurnal
Ilmiah Peternakan. 1(1): 99-108.
Kasutjianingati, Poerwanto, R, Widodo,
Khumaida, N dan Efendi , D. 2011. Pengaruh Media Induksi terhadap Multiplikasi
Tunas dan Pertumbuhan Planlet Pisang Rajabulu (AAB) dan Pisang Tanduk (AAB)
pada Berbagai Media Multiplikasi. J. Agron. Indonesia 39(3): 180 – 187.
Gustini, D, Fatonah, S, dan Sujarwati. 2012.
Pengaruh Rootone F dan Pupuk Bayfolan terhadap Pembentukan Akar dan Pertumbuhan
Anakan Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw). Biospecies. 5(1): 8-13.
Ogero, K.O, Mburugu, G.N, Mwangi, N, Ombori,
and Ngugi, M. 2012. In vitro Micropropagation of Cassava Through Low Cost
Tissue Culture. Asian Journal of Agricultural Sciences. 4(3): 205-209.
Opaluwa, A.I and Oyetunji, A.2012. Evaluating
the Baked Compressive Strength of Produced Sand Cores Using Cassava Starch as
Binder for the Casting of Aluminium Alloy T-Joint Pipe. Journal of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences (JETEAS). 3 (1): 25-32.
Rahardja dan Wiryanta, W. 2006. Aneka Cara
Memperbanyak Tanaman. Jakarta : Agromedia Pustaka.
Food Standards Australia New Zealand. 2005.
Cyanogenic Glycosides in Cassava and Bamboo Shoots. New Zealand : FSANZ.
PUSAT SARANA BIOTEKNOLOGI AGRO
menyediakan hormon two four D 100ml untuk keperluan penelitian, laboratorium, mandiri, perusahaan .. hub 081805185805 / 0341-343111 atau kunjungi kami di https://www.tokopedia.com/indobiotech temukan juga berbagai kebutuhan anda lainnya seputar bioteknologi agro