Kamis, 12 Desember 2013

PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN SINGLE BUD SINGKONG (manihot esculenta)

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
            Singkong  adalah salah satu ubi kayu yang di miliki indonesia dan terbesar dan memiliki peringkat ke tiga dari negara Brazil. Singkong juga salah satu bahan pangan yang penting di indonesia, singkong juga sangat penting dalam perekonomian di indonesia dan permintaan     dalam industri di dunia semakin meningkat. Singkong di indonesia juga mengalami penyusutan factor yang mempengaruhi penurunannya singkong di indonesia kurangnya bibit yang di sediakan (bibit unggul), petani indonesia dalam menanam singkong tidak menggunakan syarat pertumbuhan melainkan mereka menggunakan cara tradisonal seperti memotong batang dan di tancapkan langsung ke tanah tanpa perlakuan yang khusus, maka dengan itulah singkong di indonesia mengalami penurunan.
            Metode yang digunakan dalam menanam singkong bisa menggunakan metode single bud dengan menggunakan suatu teknologi inovasi produksi sedangkan Columbia menggunakan metode single bud biasanya metode ini dilakukan pada budidaya tebu dalam menggunakan metode ini Colombia mampu meningkatkan produktifitas tebu. Sebagai warga negara indonesia seharusnya bisa meningkatkan produktifitas singkong dan mampu meningkatkan hasil singkong, supaya singkong di Indonesia mampu bersaing dengan negara lain, bibit unggul yang di butuhkan sebaiknya di siapkan di setiap daerah lain agar singkong yang di hasilkan berkualitas dan terjamin.
            Dalam pembibitan (singkong) sebaiknya menggunakan singkong yang berkualitas agar hasil dari singkong yang di tanam akan berkualitas, namun dalam melakukan penanaman bibit singkong memerlukan perlakuan khusus seperti memberikan. Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) dan melakukan pemberian pupuk lainnya, ZPT adalah zat yang mempengaruhi pertumbuhan fisologi pada tanaman. Zat yang di gunakan dalam pembibitan adalah Rootone-F, zat pengatur tumbuh Rootone-F adalah formulasi dari beberapa zat seperti: NAA, IAA, IBA. IBA adalah zat yang memengaruhi percepatan akar dan memperbnyak perakaran. Hormon yang terkandung dalam Rootone-F juga di temukan secara alami di dalam urin sapi, urin sapi juga sangat bermanfaat dalam pertumbuhan dan tidak sulit untuk di dapatkan dan tidak mencemari lingkungan.
            Menggunakan zat pengatur tumbuh IBA (konsentrasi 0, 1000, dan 3000 pmm) dan Rootone-F (konsentras 0, 50, dan 100 mg/anakan)yang akan meningkatkan perakaran yang lebih banyak.

1.2 Tujuan
            Adapun tujuan dari praktikum teknologi dan inovasi produksi pertanian dengan judul Pengaruh Zpt Terhada Pertumbuhan Bibit Single Bud  Singkong (Manihot Esculenta) tersebut adalah :
1.    Untuk mengetahui metode pembibitan singel bud.
2.    Untuk mengetahui pengaruh zat pengatur tumbuh rootone F- terhadap pertumbuhan bibit singkong singel bud.
3.    Untuk mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh yang efektif dalam pembibitan singel bud singkong.







BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

            Stabilitas tunas perlu dijaga dengan memodifi kasi komposisi zat pengatur tumbuh (ZPT), terutama rasio auksin: sitokinin, disesuaikan dengan tingkat mikropropagasi tunas. Konsentrasi ZPT yang dibutuhkan saat induksi tunas akan berbeda dengan saat multiplikasi tunas berulang, dan perlu disesuaikan dengan genotipe yang digunakan. Penambahan ZPT ke dalam media in vitro sangat efektif dalam mengontrol pertumbuhan tanaman dengan mempengaruhi proses biokimia tanaman. Terlepas dari pengaruh genotipe, laju proliferasi dan pemanjangan tunas dipengaruhi oleh tipe sitokinin dan konsentrasinya. Dalam kultur in vitro pisang, biasanya digunakan sitokinin jenis adenin misalnya 6-benzylaminopurine (BAP). Sitokinin eksogen berfungsi sebagai faktor pendorong multiplikasi. Rekomendasi konsentrasi optimum BAP untuk mikropropagasi pisang adalah 20 μM (Kasutjianingati, 2011).
            Potensi singkong sebagai pakan ternak pemanfaatanya belum maksimal karena rendahnya kandungan gizi dan terdapat zat anti nutrisi yaitu asam sianida (HCN). HCN merupakan faktor pembatas penggunaan kulit singkong sebagai pakan ternak. Salah satu usaha yang d ilakukan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dan kandungan gizi terutama protein serta mengurangi atau menghilangkan zat anti nutrisi (sianida) yang dikandung bahan pakan adalah melalui teknologi fermentasi secara anaerob yang di suplementasi dengan bakteri Leuconostoc mesenteroides (Sandi, 2013).
            Peningkatan produksi tanaman selain dilakukan dengan inovasi pembibitan juga diperlukan penambahan ZPT. Zat pengatur tumbuh berperan dalam stimulasi pertumbuhan dengan memberi isyarat pada target untuk membelah atau memanjang. selain menjadi memacu pertumbuhan, beberapa jenis ZPT juga berperan dalam menghambat pertumbuhan tanaman. pengaruh dari suatu ZPT bergantung pada jenis dan spesies tumbuhan, situs aksi ZPT tumbuhan,tahap pertumbuhan dan perkembangan tanaman serta konsentrasi ZPT (Abdurrahman, D., 2008).
            Auksin merupakan zat pengatur tumbuh yang berperan dalam proses pemanjangan sel, pembelahan sel, diferensiasi jaringan pembuluh dan inisiasi akar (Heddy 1996). Salah satu produk komersial yang mengandung zat pengatur tumbuh auksin dan banyak digunakan adalah Rootone F. Berdasarkan label kemasannya Rootone F mengandung zat pengatur tumbuh dari golongan auksin dan Fungisida. Bahan-bahan yang terkandung dalam Rootone F adalah NAA, NAD, MNAA, IBA dan Thyram. Dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa zat pengatur tumbuh auksin mampu memacu pembentukan akar dan pertumbuhan anakan. Penggunaan Rootone F 200 ppm dapat meningkatkan pertumbuhan stek anakan tanaman bambu Jepang (Aini dkk., 1999). Pemberian Rootone F pada stump dan anakan gaharu memberikan persentase tumbuh dan jumlah daun paling tinggi dibandingkan atonik dan tanpa ZPT (Dessi, 2012).
            Singkong dikalikan terutama oleh batang stek yang merupakan proses yang lambat dibandingkan dengan tanaman biji-bijian (Santana et al., 2009). Penyakit juga sering menumpuk di stek batang sehingga tanaman yang terinfeksi dan rendah hasil. Petani skala kecil memperoleh bahan tanam dari tetangga, selama perjalanan atau sebagai tanaman relawan kiri dalam bera (Mutegi, 2009). Hal ini memberikan kontribusi terhadap hama dan akumulasi penyakit dan penyebaran. tantangan lain dengan stek meliputi rusaknya tinggi karena mereka kering dalam waktu beberapa hari, penanganan tinggi dan biaya transportasi dan berat nyaman dan sebagian besar materi. Hal ini membuat kultur jaringan yang penting teknologi dalam mendirikan sistem perbenihan singkong (Kwame, 2012).
            Penggunaan singkong pati untuk produksi inti pasir belum ekstensif dilaporkan dalam literatur, dan karenanya perlu untuk menyelidiki potensinya dalam hal ini. sejak singkong merupakan sumber yang murah pati berlimpah dengan karakteristik ikatan yang sangat baik, pati singkong memiliki Oleh karena itu dipilih untuk penyelidikan. ini bekerja bertujuan untuk menghasilkan core pasir menggunakan singkong pati sebagai pengikat dan mengevaluasi kesesuaian mereka di hal kekuatan tekan mereka untuk pengecoran paduan aluminium T-Joint pipa. Tujuan ini bekerja adalah untuk memanfaatkan bahan baku local (pati singkong dan pasir Ojolofe) untuk menghasilkan core; menentukan kekuatan tekan yang dihasilkan core, bandingkan sifat diamati dengan orang-orang core standar dan, dan mengevaluasi kesesuaian diproduksi core dengan casting aluminium pipa T-Joint (Opaluwa, 2012).
            Menurut Rahardja dan Wiryanta, W. (2006), zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dan memiliki kandungan yang lengkap adalah Rootone-F yang memiliki komposisi naftalenasetamide 0,067%, meti l- naftalenasetamida 0,13 %, metil-1-naftalenasetatc 0,033%, indol-3-butirat 0,057% dan tiram 4% . Hormon yang terkandung dalam Rootone-F juga di temukan secara alami di dalam urin sapi, urin sapi juga sangat bermanfaat dalam pertumbuhan dan tidak sulit untuk di dapatkan dan tidak mencemari lingkungan
Singkong (Manihot esculanta) merupakan tanaman yang tumbuh dengan baik pada iklim tropis. Tanaman ini termasuk dalam golongan tanaman semak tahunan yang mampu tumbuh tinggi mencapai 1-3 m. Temperatur ideal untuk pertumbuhan tanaman singkong adalah 20o. Bagian tanaman yang sering digunakan dan dimanfaatkan adalah bagian daun dan akarnya. Kadar karbohidrat yang dikandung oleh buah (umbi) singkong cukup tinggi,, namun kandungan proteinnya sangat rendah. Sedangkan pada daunnya, kandungan proteinnya lebih besar. Zat yang di gunakan dalam pembibitan adalah Rootone-F, zat pengatur tumbuh Rootone-F adalah formulasi dari beberapa zat seperti: NAA, IAA, IBA (Food Standards Australia New Zealand, 2004).
           


BAB 3. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat
Praktikum Teknologi Inovasi Produksi Pertanian dengan judul Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Bibit Single Bud Singkong (Manihot esculenta), dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Dasar Fakultas Pertanian Universitas Jember pada hari sabtu tanggal 19 Oktober 2013 pada jam 15.00 sampai selesai.

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
1.        Gergaji/pisau pemotong
2.        Gelas air mineral
3.        Pipet
4.        Gelas ukur
5.        Beaker glass
6.        Spatula
7.        Handsprayer (alat semprot)
3.2.2 Bahan
1.        Batang singkong
2.        Rootone-F
3.        Aquades
4.        Media tanam (pasir, kompos, tanah)

3.3 Cara Kerja
1.        Persiapkan alat dan bahan.
2.        Pilih bahan tanam (batang singkong) yang memiliki kualitas tinggi.
3.        Potong batang singkong (dengan panjang masing – masing 1 cm) diantara mata tunas.
4.        Celupkan / rendam batang singkong yang telah dipotong tersebut kedalam larutan Rootone-F (konsentrasi 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm) masing – masing buat 5 kali ulangan. Sebagai pembanding buat kontrol (tanpa perlakuan Rootone-F.
5.        Tancapkan stek pada media tanam (campuran pasir, tanah, kompos perbandingan 1:1:1) yang telah disediakan selama 4-5 minggu, kemudian siram air secukupnya.
6.        Peliharalah tanaman dengan melakukan penyiraman setiap hari selama 2-4 minggu.

3.4 Pengamatan
            Pengamatan pertama (H0) dilakukan satu minggu (7 hari) setelah tanam. Selanjutnya lakukan pengamatan ke-2 dengan seterusnya setiap 3 hari sekali selama 2-4 minggu, dengan parameter pengamatan sebagai berikut:
1.        Tinggi tanaman.
2.        Jumlah daun.
3.        Panjang dan lebar daun.
4.        Jumlah dan panjang akar (pada akhir pengamatan).


BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.2 Pembahasan
Dari hasil pengamatan yang sudah di lakukan pada H0 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 0,36 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 0,74 cm dan perlakuan 200 ppm dan 300 ppm  tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0. Jadi untuk H0 perlakuan yang terbaik  yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 0,74 cm.
Pengamatan pada H3 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 0,6 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 1,12 cm dan perlakuan 200 ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 0,1cm. Jadi untuk H3 perlakuan yang terbaik  yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 1,12 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H6 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 0,66 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 2,82cm dan perlakuan 200 ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 0,74 cm. Jadi untuk H3 perlakuan yang terbaik  yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 2,82 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H9 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 1,2 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 5,12cm dan perlakuan 200 ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 2,46, pada H9 perlakuan 300 ppm melebihi tinggi dari pada perlakuan kontrol.  Jadi untuk H9 perlakuan yang terbaik  yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 5,12 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H12 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 2,52 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 7,44 cm dan perlakuan 200 ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 5,48 cm, pada perlakuan 300 ppm sangat cepat pertumbuhan tingginya dari pada perlakuan lainnya.  Jadi untuk H12 perlakuan yang terbaik  yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 7,44 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H15 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 5,28 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 11,68cm dan perlakuan 200 ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 10,7 cm, untuk pada H15 perlakuakan 300 ppm hampir mendekati tinggi perlakuan 100 ppm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H18 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 7,9 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 15 cm dan perlakuan 200 ppm tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 12,24 cm,  Jadi untuk H18 perlakuan yang terbaik  yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 15 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H21 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 11,8 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 19,86 cm dan perlakuan 200 ppm  tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 14,6 cm,  Jadi untuk H21 perlakuan yang terbaik  yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 19,86 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H24 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 19,8 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 27,1cm dan perlakuan 200 ppm  tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 22,2 cm,  Jadi untuk H24 perlakuan yang terbaik  yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 27,1 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Pengamatan pada H27 hasil yang di peroleh oleh perlakuan kontrol tinggi tanaman mencapai 25,2 cm, sedangkan hasil dari perlakuan 100 ppm mencapai tinggi 28,46cm dan perlakuan 200 ppm  tidak ada reaksi terhadap tinggi tanaman dan hasil yang di peroleh 0, sedangkan pada perlakuan 300 ppm mencapai tinggi 25,02 cm,  Jadi untuk H27 perlakuan yang terbaik  yaitu pada perlakuan 100 ppm yang mencapai 28,46 cm, perlakuan yang palik buruk adalah perlakuan 200 ppm yang tingginya pada tanaman tidak ada perubahan.
Perlakuan pada H0-H27 mengalami peningkatan pada grafik yang sudah di buat. Namun, pada perlakuan 200 ppm tidak mengalami perubahan pada H0-H27 yang hasil yang di peroleh 0, sehingga pada perlakuan 200 ppm tidak adanya grafik yang di tunjukan, jadi perlakuan yang terbaik pada H0-H27 yang tingginya terus meingkat pada perlakuan 100 ppm dan perlakuan terburuk yang tidak ada peningkatan pada perlakuan 200 ppm.
Pengamatan pada jumlah daun yang sudah di lakukan pada singkong pada H0-H3, perlakuan kontrol, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm, tidak ada perubahan atau pertumbuhan pada jumlah daun. pada H6 untuk jumlah daun hanya perlakuan 100 ppm yang jumlahnya sebanyak 5, sedangkan untuk perlakuan kontrol, 200 ppm dan 300 ppm tidak adanya perubahan dengan jumlah daun, Pada H9 jumlah daun pada perlakuan kontrol sebanyak 4, namun pada perlakuan 100 ppm mengalami penurunan yang sebelumnya 5 daun berubah menjadi 3 daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun sebanyak 2. Pada H12 jumlah daun pada perlakuan kontrol mengalami peenurunan yang awalnya sebanyak 4 berubah menjadi 2, namun pada perlakuan 100 ppm mengalami perubahan yang sebelumnya 3 daun berubah menjadi 4 daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun sebanyak 3. Pada H15 jumlah daun pada perlakuan kontrol sebanyak 2, namun pada perlakuan 100 ppm jumah daun 4 daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun sebanyak 4. Pada H18 jumlah daun pada perlakuan kontrol sebanyak 3, namun pada perlakuan 100 ppm jumah daun 4 daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun sebanyak 4. Pada H21 jumlah daun pada perlakuan kontrol sebanyak 4, pada perlakuan 100 ppm jumah daun 4 daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun sebanyak 4.
Pada H24 jumlah daun pada perlakuan kontrol sebanyak 4, pada perlakuan 100 ppm jumah daun 5 daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun sebanyak 4. Pada H27 jumlah daun pada perlakuan kontrol sebanyak 4, pada perlakuan 100 ppm jumah daun 5 daun, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang jumlahnya hanya 0 dan perlakuan 300 ppm jumlah dun sebanyak 5. Jadi perubahan ataupun perlakuan yang terbaik adalah perlakuan 300 ppm yang pada H0-H27 selalu mengalami perubahan jumlah dain yang semakin banyak, dan perlakuan yang buruk pada perlakuan 200 ppm yang dari H0-H27 tidak adanya perubahan pada ataupun jumlah daun yang tumbuh.
Pada pengamatan lebar daun yang sudah di lakukan pada singkong pada H0-H3, perlakuan kontrol, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm, tidak ada perubahan atau pertumbuhan pada lebar daun. pada H6 untuk lebar daun hanya perlakuan 100 ppm yang lebarnya 0,2 cm, sedangkan untuk perlakuan kontrol, 200 ppm dan 300 ppm tidak adanya lebar daun, Pada H9 lebar daun pada perlakuan kontrol 0,12 cm, namun pada perlakuan 100 ppm lebar pada daun 0, 88 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 0,22. Pada H12 lebar daun pada perlakuan kontrol 0,28 cm, pada perlakuan 100 ppm lebar pada daun 1,74 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 0,38. Pada H15 lebar daun pada perlakuan kontrol 2 cm, namun pada perlakuan 100 ppm lebar pada daun 2,24 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 0,48. Pada H18 mengalami penyusutan yang awalnya lebar daun pada perlakuan kontrol 2 cm menjadi 0,84 cm, pada perlakuan 100 ppm lebar pada daun 2,48 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 1,06. Pada H21 lebar daun pada perlakuan kontrol 1,04 cm, pada perlakuan 100 ppm lebar pada 5,94 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 1,3 cm.
Pada H24 lebar daun pada perlakuan kontrol 1,14 cm, pada perlakuan 100 ppm lebar pada 9,18 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 1,72 cm. Pada H27 lebar daun pada perlakuan kontrol 2,1 cm, pada perlakuan 100 ppm lebar pada 10,1 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang lebar daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun dun 1,92 cm. Jadi perlakuan yang terbaik pada lebar daun pada perlakuan 100 ppm yang lebar daunnya dari H0-H27 mengalami peningkatan dan perlakuan yang buruk pada perlakuan 200 ppm yang dari H0-H27 tidak adanya perubahan pada ataupun lebar daun.
            Pada pengamatan panjang daun yang sudah di lakukan pada singkong pada H0-H3, perlakuan kontrol, 100 ppm, 200 ppm dan 300 ppm, tidak ada perubahan atau pertumbuhan pada panjang daun. pada H6 untuk panjang daun hanya perlakuan 100 ppm yang panjangnya 0,68 cm, sedangkan untuk perlakuan kontrol, 200 ppm dan 300 ppm tidak adanya lebar daun, Pada H9 panjang daun pada perlakuan kontrol 0,6 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 2,04 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 1cm. Pada H12 panjang daun pada perlakuan kontrol 0,8 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 3,86 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 1,66 cm. Pada H15 panjang daun pada perlakuan kontrol 1,92 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 4,16 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 1,7 cm. Pada H18 panjang daun pada perlakuan kontrol 3,26 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 5,16 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 4,04 cm. H21 panjang daun pada perlakuan kontrol 4,88 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 5,84 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 4,98 cm.
Pada H24 panjang daun pada perlakuan kontrol 5,18 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 7,4 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 5,6 cm. Pada H27 panjang daun pada perlakuan kontrol 7,14 cm, pada perlakuan 100 ppm panjang daun 7,6 cm, pada perlakuan 200 ppm pertumbuhan pada daun tidak mengalami perubahan atau tidak mengalami pertumbhan pada daun yang panjang daun 0 dan perlakuan 300 ppm lebar daun daun 6,76 cm. Jadi panjang daun yang terbaik pada perlakuan kontrol yang H27 mencapai 7,14 cm, perlakuan yang buruk pada perlakuan 200 ppm yang dari H0-H27 tidak adanya perubahan pada ataupun panjang daun.
            Pengamatan pada panjang akar singkong setelah selesai pengamatan panjang daun, lebar daun, jumlah daun. Panjang akar pada perlakuan kontrol pada ulangan 1 mencapai 17,5 cm, pada 100 ppm ulangan 1 mencapai 13 cm, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang akar, pada 300 ppm ulangan 1 mencapai 13,7 cm. Perlakuan kortrol pada ulangan 2 mencapai 15,3 cm, pada 100 ppm  ulangan 2 mencapai 14 cm, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang akar, pada 300 ppm ulangan 2 mencapai 14,2 cm. Perlakuan kortrol pada ulangan 3 mencapai 20 cm, pada 100 ppm  ulangan 3 mencapai 13,5 cm, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang akar, pada 300 ppm ulangan 3 mencapai 16,2cm.. Perlakuan kortrol pada ulangan 4 mencapai 22 cm, pada 100 ppm  ulangan 4 mencapai 13 cm, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang akar, pada 300 ppm ulangan 4 mencapai 0 cm. Perlakuan kortrol pada ulangan 5 mencapai 19 cm, pada 100 ppm  ulangan 5 mencapai 17,5 cm, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada panjang akar, pada 300 ppm ulangan 4 mencapai 13 cm. Jadi perlakuan yang terbaik di lihat dari panjang akar pada rata-rata terbaik pada perlakuan kontrol yang jumlahnya 18, 8 cm dan yang terburuk pada perlakuan 200 ppm pada ulangan 1-5 pertumbuhan pada akar tidak ada sama sekali atau tidak tumbuh.
            Pengamatan pada jumlah akar singkong setelah selesai pengamatan panjang daun, lebar daun, jumlah daun. Jumlah akar pada perlakuan kortrol pada ulangan 1 sebanyak 22, pada 100 ppm ulangan 1 sebanyak 31, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada jumlah akar, pada 300 ppm ulangan 1 sebanyak 8. Pada perlakuan kortrol pada ulangan 2 sebanyak 7, pada 100 ppm ulangan 2 sebanyak 24, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada jumlah akar, pada 300 ppm ulangan 2 sebanyak 37. Pada perlakuan kortrol pada ulangan 3 sebanyak 13, pada 100 ppm ulangan 3 sebanyak 23, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada jumlah akar, pada 300 ppm ulangan 3 sebanyak 26. Pada perlakuan kortrol pada ulangan 4 sebanyak 17, pada 100 ppm ulangan 4 sebanyak 19, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada jumlah akar, pada 300 ppm ulangan 3 sebanyak 0. Pada perlakuan kortrol pada ulangan 5 sebanyak 17, pada 100 ppm ulangan 5 sebanyak 13, pada 200 ppm mengalami proses yang tidak sempurna sehingga tanaman singkong pada perlakuan ppm ulangan 1-5 tidak ada jumlah akar, pada 300 ppm ulangan 3 sebanyak 37. Jadi perlakuan yang terbaik di lihat dari jumlah akar pada rata-rata terbaik pada perlakuan 100 ppm yang banyaknya 26 dan yang terburuk pada perlakuan 200 ppm pada ulangan 1-5 pertumbuhan pada akar tidak ada sama sekali atau tidak tumbuh.
            Teknik single bud yaitu dengan cara pemotongan bibit singkong yang di lakukan pada batang singkong dan cara penanaman batang tersebut tidak tgak melaikan miring atau tidur dan tujuannya dari single but hanya untuk pembibitan bukan untuk menghasilkan umbinya, dan teknik ini menggunakan satu mata tunas, pada umumnya teknik ini di gunakan dalam pembibitan tebu, metode ini belom pernah di lakukan untuk pembibitan singkong, sehingga perlu adanya teknologi inovasi produksi pertanian, sehingga dengan adanya single bud ini akan meningkatnya produksi singkong. kelebihan dari single bud, mempunyai daya tubuh seragam, jumlah anakan lebih banyak dari pada pembibitan konvensional, hemat tempat dalam proses pembibitan, biaya yang di butuhkan tidak terlalu mahal, proses lebih singkat. Kekurangan, biaya pembelian alat-alat cukup mahal, jumlah anakan kurang optimal jika di tanam di daerah curah hujan yang tinggi, harus ada inovasi peralatan.
Pengaruh ZPT (zat pengatur tumbuh) untuk memacu perkecambahan. Zat pengatur tumbuh Rootone-F adalah formulasi dari beberapa zat seperti: Napthalene Acetic Acid (NAA), Indole Acetic Acid (IAA), dan IBA yang berbentuk tepung berwarna putih kotor dan sukar larut dalam air. Komposisi bahan aktif Rootone-F adalah Napthalene Acetamida (NAA) 0,067 %; 2-metil-1-Napthalene Acetatamida (MNAD) 0,013 %; 2-metil-1-naftalenasetat 0.33%; 3-Indol butyric Acid (IBA) 0,057 % dan Thyram (Tetramithiuram disulfat) 4,00 %. NAD, NAA dan IBA. IBA merupakan senyawa organik yang dapat mempercepat dan memperbanyak perakaran. Thyram merupakan senyawa organik yang berfungsi sebagai fungisida. Hormon yang terkandung di dalam Rootone-F ini juga ditemukan secara alami di dalam urin sapi. Dengan demikian, pada konsentrasi yang tepat, urin sapi juga bermanfaat sebagaimana zat pengatur tumbuh. Keuntungan dari pemakaian urin sapi adalah mudah didapat dengan harga murah, serta tidak menimbulkan pencemaran lingkungan. Pemberian Rootone-F pada stum dan anakan gaharu memberikan persentase tumbuh dan jumlah daun paling tinggi dibandingkan atonik dan tanpa ZPT (zat pengatur tumbuh).
Hubungan teknik single bud dengan teknologi inovasi produksi pertanian dengan adanya teknik single but ini maka akan mempercepat produksi pertanian dan hasil dari penggunaan single bud sangat di butuhkan dan bibit yang di gunakan bibit unggul sehingga menggunakan teknik ini produksi pertanian di Indonesia bisa menyamakan dengan produksi luar negeri yang bisa memasarkan hasil yang telah di peroleh dengan menggunakan teknik single bud tersebut.

BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 kesimpulan
Setelah melakukan pengamatan hasil dari tabel dan grafik tinggi tanaman yang terbaik pada perlakuan 100 ppm yang pada H0-H27 mengalami kenaikan dan pertumbuhan pada perlakuan 100 ppm dengan pesat. Pada table dan grafik jumlah tanaman perlakuan yang terbaik pada perlakuan 300 ppm dimana jumlah daun meningkat terus. Pada lebar daun yang terbaik pada perlakuan 100 ppm lebar daun yang pertumbuhannya cepat dan lebar pada H27 mencapai 10.1 cm. Pada panjang daun hasil yang terbaik pada perlakuan kontrol yang pada H27 mengalami pertumbuhan yang pesat mencapai 7,14 cm. Untuk panjang akar yang terbaik setelah di rata-rata pada perlakuan kontrol yang panjangnya 18,8 cm. Jumlah akar yang terbaik pada perlakuan yang sudah di rata-rata pada perlakuan 100 ppm sebanyak 26.
5.2 Saran
            Sebaiknya dalam melakukan praktikum dengan cara menggunakan teknik single bud di lakukan dengan benar agar tidak ada kegagalan dalam melakukannya, sehingga bisa mengetahui seberapa besar hasil yang sudah di lakukan dengan cara menggunakan teknik single bud.







DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, D., 2008. Biologi Kelompok Pertanian dan Kesehatan Jilid 2. Bandung : Grafindo Media Pratama.

Sandi, Y.O, Rahayu, S, dan Suryapratama, W. 2013. Upaya peningkatan kualitas kulit singkong melalui fermentasi menggunakan leuconostoc mesenteroides pengaruhnya terhadap kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in vitro. Jurnal Ilmiah Peternakan. 1(1): 99-108.

Kasutjianingati, Poerwanto, R, Widodo, Khumaida, N dan Efendi , D. 2011. Pengaruh Media Induksi terhadap Multiplikasi Tunas dan Pertumbuhan Planlet Pisang Rajabulu (AAB) dan Pisang Tanduk (AAB) pada Berbagai Media Multiplikasi. J. Agron. Indonesia 39(3): 180 – 187.

Gustini, D, Fatonah, S, dan Sujarwati. 2012. Pengaruh Rootone F dan Pupuk Bayfolan terhadap Pembentukan Akar dan Pertumbuhan Anakan Salak Pondoh (Salacca edulis Reinw). Biospecies. 5(1): 8-13.

Ogero, K.O, Mburugu, G.N, Mwangi, N, Ombori, and Ngugi, M. 2012. In vitro Micropropagation of Cassava Through Low Cost Tissue Culture. Asian Journal of Agricultural Sciences. 4(3): 205-209.

Opaluwa, A.I and Oyetunji, A.2012. Evaluating the Baked Compressive Strength of Produced Sand Cores Using Cassava Starch as Binder for the Casting of Aluminium Alloy T-Joint Pipe. Journal of Emerging Trends in Engineering and Applied Sciences (JETEAS). 3 (1): 25-32.

Rahardja dan Wiryanta, W. 2006. Aneka Cara Memperbanyak Tanaman. Jakarta : Agromedia Pustaka.


Food Standards Australia New Zealand. 2005. Cyanogenic Glycosides in Cassava and Bamboo Shoots. New Zealand : FSANZ.

1 komentar:


  1. PUSAT SARANA BIOTEKNOLOGI AGRO

    menyediakan hormon two four D 100ml untuk keperluan penelitian, laboratorium, mandiri, perusahaan .. hub 081805185805 / 0341-343111 atau kunjungi kami di https://www.tokopedia.com/indobiotech temukan juga berbagai kebutuhan anda lainnya seputar bioteknologi agro

    BalasHapus