Kamis, 12 Desember 2013

RESPIRASI MIKROORGANISME TANAH

BAB 1 PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Peralihan fungsi lahan sebagai areal yang tidak dipergunakan dalam pertanian terutama dikota-kota yang mayoritas penduduknya banyak melebihi kapasitas yang diberlakukan menyebabkan banyak dampak negatif , dampak yang terjadi cukup merugikan. Sisi lain dari itu semua adalah sebab yang akan diterimanya akan terjadi suatu kelebihan kapasitas air bahkan berkurang dari seharusnya dan memicu hujan tidak berkeseimbangan yang disertai dengan mampu atau tidaknya tanah yang dimaksud dalam upaya menyerap air dan menampungnya, karena semua itu diakibatkan tidak cukupnya kapasitas areal dalam melakukan serapan dikala dibutuhkannya. Lahan kering di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk pembangunan pertanian. Namun, produktivitas umumnya rendah, kecuali sistem pertanian lahan kering dengan tanaman tahunan/perkebunan. Pada  usaha tani lahan kering dengan tanaman pangan semusim, produktivitas relatif rendah serta menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus meningkat dan masalah biofisik (Sukmana 1994). Lahan kering terutama di daerah aliran sungai (DAS) bagian hulu umumnya menghadapi masalah kerusakan lingkungan yang makin parah sehingga menurunkan produktivitas lahan, meningkatkan erosi dan sedimentasi, serta memacu meluasnya banjir pada musim hujan. Masalah tersebut memerlukan perhatian serius karena dapat menghambat pembangunan pertanian khususnya peningkatan produksi pangan.
Ada beberapa hal yang juga menjadi penyebab dalam keterbukaannya areal tersebut  baik diambilnya penyanggah dalam mengatasi terjadinya tidak cukupnya daya serapan diareal pertanian, lahan yang terbuka dapat mempercepat laju dalam aliran suatu permukaan Dalam suatu DAS Daerah Aliran Sungai, hidrologi (tata air) yang rusak dapat dilihat dari kejernihan air sungai wilayah DAS tersebut, jika air berwarna keruh, pada saat hujan, maka dapat dipastikan secara fakta lapangan kondisi DAS wilayah tersebut telah rusak, artinya banyak areal yang terbuka. Maka yang banyak terjadi dikalangan adalah banjir ataupun kekeringan karena tidak adanya keseimbangan terhadapnya, sangat diperlukan keseimbangan alam itu dalam kwasan DAS yang perlu kelestarian pertahanan dengan sumber daya hutan dengan akurasi maksimal yang disertai realitas pada dampak tersebut. Sebenarnya peran dari sebuah areal yang strategis itu diperlukan dengan banyaknya rehabilitasi terhadap penanggulangan dan pemanfaatan DAS lahan basah atau yang dikenal Wetlands. Di mana manfaat yang diperoleh dapat secara langsung, maupun tidak langsung, jangka menengah maupun panjang. DAS. Diharapkan dengan melihat sejauhmana peran Wetlands, bagi kelestarian fungsi DAS, akan menjadi trend (model), bagi daerah-daerah yang memiliki wetlands yang cukup luas, tidak hanya menelantarkannya.
Upaya mengatasi masalah lahan kritis di DAS perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain sumber terjadinya lahan kritis, tingkat kekritisan lahan, jenis tanah dan iklim, kondisi sosial ekonomi, dan tingkat bahaya erosi. Upaya itu perlu diformulasikan dengan tepat dalam tiga komponen penanganan, yaitu  terbaikan teknologi, kebijakan yang tepat, dan partisipasi masyarakat secara penuh (Nelson 1991). Berdasarkan tingkat kekritisan lahan, selanjutnya ditetapkan prioritas penanganan  Dengan memperhatikan dampak yang lebih luas dan kemungkinan keberhasilan yang besar, maka prioritas utama penanganan adalah lahan dengan tingkat kekritisan ringan, yaitu lahan yang berpotensi kritis dan semikritis. Konservasi ditujukan untuk mencegah terjadinya degradasi lebih lanjut dan menghindari hilangnya lahan produktif.

1.2  Rumusan Masalah
  1. Upaya apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk menangani lahan kering di Daerah perkotaan?
  2. Faktor apa saja yang mendukung upaya pengembangan usaha tani?
1.3  Tujuan
       1.      Untuk mengetahui cara mengelola lahan kering
2     Untuk mengetahui teknik pengolahan pada lahan basah.
3      Untuk mengetahui sisi permasalahan terhadap keduanya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Definisi yang diberikan oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode sebagian besar waktu dalam setahun.
Indonesia memiliki lahan kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara (Soebagyo,et al., 2004; Hidayat dan Mulyani, 2005).
Lahan kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas  dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971).
Selanjutnya menurut Hidayat dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun.  Lahan kering secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70 %.   Pada saat ini pemanfaatan lahan kering untuk  keperluan pertanian baik tanaman semusim maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang.  Pertambahan jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat.  Sejalan dengan itu pengembangan lahan kering  untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan.  Usaha intensifikasi dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan.  Upaya lainnya dengan pembukaan lahan baru  sudah tidak  terelakkan lagi.
Lahan kering  dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000).
Lahan kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan perbukitan.  Relief  tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan lahan kering.  Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian.  Ditinjau dari bentuk, kesuburan  dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah).  Hinnga saat ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim untuk menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim di pedesaan.  Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan terjadinya  erosi dan penurunan kesuburan yang berat.  Di negara sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bertmuara pada merebaknya kemiskinan dan  kelaparan.  Sedangkan secara ekologi akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi  penurunan kekayaan hayati yang berat  (Scherr, 2003)
Konservasi lahan didefinisikan sebagai penerapan berbagai tindakan atau perlakuan yang diperlukan pada suatu lahan usaha tani, agar terjadi peningkatan produksi dan membangun produktivitas tanah yang dilakukan pada saat bersamaan. Hal ini berarti membuat tanah menghasilkan produksi yang berlimpah dari tahun ketahun untuk masa yang tidak terbatas, juga berarti membangun ketahanan tanah (Irwanto, 2006).
Pengertian yang lain tentang konservasi lahan adalah penggunaan lahan sesuai dengan kemampuannya, dan memberikan perlakuan kepada lahan sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar lahan tidak rusak dan dapat dipergunakan serta dapat tetap produktif untuk waktu yang tidak terbatas. Pengertian produksi disini tidak terbatas hanya pada komoditi fisik seperti padi, serat, kayu dan air tetapi juga dalam artian non fisik seperti kenyamanan, keindahan dan sebagainya (Arsyad, 1985).
Menurut Arsyad (1985), metode konservasi tanah yang merupakan tindakan atau perlakuan atau fasilitas yang dapat digunakan untuk mencegah kerusakan tanah atau untuk memperbaiki tanah-tanah yang telah rusak. Metode ini pada dasarnya dibagi dalam dua golongan, yaitu: metode vegetatif dan metode mekanik.
Metode vegetatif adalah penggunaan tumbuhan atau tanaman dan sisa-sisanya. Termasuk dalam metode ini adalah penanaman pohon, penanaman rumput, pergiliran tanaman atau tumbuhan seperti mulsa dan pupuk hijau. Fungsi metode vegetatif adalah mencegah butir hujan yang jatuh sehingga mengurangi pukulan terhadap permukaan tanah, mengurangi jumlah air yang sampai dipermukaan tanah, mengurangi dan menghambat kecepatan serta daya rusak aliran permukaan dan memperbesar kapasitas infiltrasi.
Metode mekanik adalah pembuatan bangunan-bangunan pencegahan erosi dan manipulasi mekanik tanah dan permukaan tanah. Termasuk dalam metode ini adalah pengolahan tanah menurut kontur, penanaman dan pengolahan menurut kontur (contour farming), pananaman dalam strip, pembuatan guludan, teras, saluran pengalih, saluran pembuangan, rorak, dan sebagainya. Fungsi metode mekanik adalah memperlambat aliran permukaan dan mengalirkannya dengan kecepatan yang tidak merusak serta memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah.
Kemantapan struktur tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan terjadinya erosi pada tanah. Sehubungan dengan itu, maka dilakukan pemantapan struktur tanah dengan cara vegetatif ataupun cara kimia. Pemantapan struktur tanah dengan cara kimia telah dikembangkan sejak tahun 1950 dengan menggunakan bahan kimia pemantap tanah (soil conditioner). Ada beberapa macam bahan pemantap tanah yang sering digunakan dan hal ini merupakan bahan impor karena belum diproduksi di dalam negeri.
Daerah aliran sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau laut (Manan, 1979).
Daerah Aliran Sungai disingkat DAS ialah istilah geografi mengenai sebatang sungai, anak sungai dan area tanah yang dipengaruhinya (Arsyad, 1985).
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara, serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau (Irwanto, 2006).
Konservasi DAS adalah perlindungan daerah aliran sungai agar terhindar dari kerusakan akibat pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kemampuan leingkungan itu sendiri (Irwanto, 2006).
Konservasi lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah agar lahan dapat digunakan secara lestari (Deptan, 2009).
Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi.
DAS bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap keseluruhan DAS.
Permasalahan pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen komponen DAS dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah daerah yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta menjadi tanggung jawab bersama.

BAB III PEMBAHASAN
Upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pembangunan pertanian yang dipusatkan pada kedua aspek yaitu pada padi sawah dan DAS. Program khusus untuk penanganan lahan kering adalah program penghijauan dan reboisasi untuk tanah negara. Program reboisasi dan penghijauan bertujuan untuk menghentikan proses pengkritisan lahan dan mengurangi jumlah lahan kritis. Untuk meningkatkan usaha tersebut, pemerintah mencanangkan Gerakan Satu Juta Pohon (Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1985). Sedangkan penghijauan merupakan cara konservasi lahan yang efektif khususnya untuk menjaga fungsi hidrologis lahan di DAS hulu.
Menurut Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air (1990), menyatakan bahwa penanganan lahan kering di DAS dilakukan dengan usaha tani konservasi yang mengkombinasikan teknik konservasi secara mekanik dan vegetatif dalam suatu pola usaha tani terpadu. Sasaran penanganan tersebut adalah meningkatkan produktifitas usaha tani dan pendapatan petani, menurunkan laju erosi, serta meningkatkan partisipasi petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air. Menurut Wudianto (1990), erosi yang terjadi dapat dicegah dengan melakukan langkah-langkah yang meliputi: (a) menjaga tanah supaya terhindar dari penghancuran dan pengangkutan oleh air hujan; (b) melakukan penutupan pada permukaan tanah dengan menggunakan tanaman atau sisa-sisa tanaman (mulsa); (c) mengatur aliran permukaan dengan kekuatan alir yang tidak merusak tanah.
Menurut Prawiradiputra et al. (1995), menjelaskan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia merupakan kegiatan multi-sektoral yang telah dituangkan dalam Program Inpres Reboisasi dan Penghijauan (Inpres No. 8/1976). Dalam Inpres tersebut dinyatakan bahwa ada enam instansi pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan program tersebut, yaitu Departemen Dalam Negeri (instansi pimpinan), Departemen Kehutanan ( perencanaan dan pemantauan), Depatemen Keuangan (pengawas keuangan), Departemen Pertanian (bantuan teknis), Departemen pekerjaan Umum (bantuan teknis), dan Bappenas.
Menurut Pusat Pengembangan Agribisnis (1991), tingkat adopsi teras melalui rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) pada daerah unit pelestarian sumber daya alam (UPSA) masih rendah yaitu 33%. Sejumlah petani (20%) sudah mengadopsinya tetapi masih perlu ditingkatkan, sedangkan sisanya belum mengadopsi upaya RLKT tersebut. Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) yang lebih dikenal dengan nama UACP, juga mempunyai tujuan pokok bukan sematamata meningkatkan penghasilan petani, tetapi juga melindungi infrastruktur (waduk, saluran irigasi) di bagian hilirnya. Daerah kerja UACP meliputi lahan kering dengan kemiringan 15% dan erosi sudah mengancam produktivitas lahan. Melalui kegiatan UACP dilakukan penyempurnaan teras bangku dengan tanaman penguat teras yang selain berfungsi untuk menstabilkan lahan juga untuk menyediakan pakan ternak. Proyek tersebut dikelola secara lintas sektoral dengan Departemen Dalam Negeri selaku pelaksana utama (leading agency) (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air 1985). Kebijakan pengembangan lahan kering di DAS bagian hulu berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No.175/Kpts/RC.220/4/1987 tentang Pedoman Pola Pembangunan di DAS yang dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kesesuaian lahan, kemiringan lahan, kultur teknis, dan asas-asas konservasi yang berwawasan lingkungan (Departemen Pertanian 1987). Di Jawa Tengah, kebijakan tersebut telah dijabarkan dalam berbagai petunjuk pelaksanaan yang berisikan strategi, langkah-langkah, dan kegiatan pembinaan.
3.3 Faktor Pendukung Upaya Pengembangan Usaha Tani di Lahan Kering
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi usaha tani konservasi lahan kering adalah: (1) komitmen dan dukungan pemerintah daerah; (2) adanya keterkaitan peneliti, penyuluh dan kelompok tani; (3) tingkat partisipasi petani; (4) sistem pendukung/pelayanan, dan; (5) kelayakan teknologi anjuran dan tingkat adopsi. Dukungan pemerintah daerah dalam penerapan teknologi konservasi sangat penting karena petani kurang mampu melaksanakan teknologi konservasi secara mandiri. Selain dukungan dari atas, peran kelompok tani dan lembaga-lembaga pedesaan juga sangat penting. Integrasi proyek dengan lembaga pedesaan seperti LKMD dan kelompok tani serta adanya kerja sama antara peneliti, penyuluh, aparat desa, dan petani telah memperkuat kemampuan desa dalam pengembangan sistem usaha tani konservasi. Keterkaitan antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani sangat penting. Asisten lapang dan (3-4 orang di tiap lokasi) yang tinggal di desa memudahkan komunikasi dengan kelompok tani dan koordinasi dengan penyuluh lapangan. Partisipasi petani umumnya sangat baik pada awal proyek, tetapi selanjutnya menurun. Telah disadari bahwa peran lembaga pelayanan seperti lembaga pemasaran, perkreditan, dan penyalur sarana produksi sangat penting dalam proses adopsi teknologi usaha tani konservasi di DAS bagian hulu.
Selain itu, adanya perbedaan faktor fisik dan sosial-ekonomi petani menyebabkan teknologi yang dianjurkan juga perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada. Di lahan kering DAS, petani banyak yang telah mengadopsi teknologi system usaha tani konservasi karena mereka sudah mengetahui manfaatnya. Legum penutup tanah misalnya dapat memperbaiki kesuburan tanah sehingga meningkatkan hasil ubi kayu dan jagung 0,30 ton pipilan kering. Adopsi teknologi bukan hanya terjadi pada petani kooperator, tetapi juga pada petanin onkooperator, seperti teknologi pembuatan teras, penanaman tanaman penguat teras, pembuatan saluran pembuanga nair (SPA), pola tanam, dan penggunaan varietas unggul padi gogodan jagung. Terdapat tiga aspek pendukung yang perlu diperhatikan dalam program pengembangan atau transfer teknologi usahatani konservasi kepada petani, yaitu aspek pemasaran, aspek teknis, dan aspek sosial ekonomi.









BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Upaya mengatasi masalah lahan kering kritis di DAS perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain sumber terjadinya lahan kritis, tingkat kekritisan lahan, jenis tanah dan iklim, kondisi sosial ekonomi, dan tingkat bahaya erosi. Upaya itu perlu diformulasikan dengan tepat dalam tiga komponen penanganan, yaitu perbaikan teknologi, kebijakan yang tepat, dan partisipasi masyarakat secara penuh.
Pengembangan teknologi usaha tani konservasi perlu didukung oleh pemerintah daerah, kerja sama peneliti, penyuluh dan petani, lembaga pelayanan, dan partisipasi petani. Dukungan yang kurang optimal akan menyebabkan pengembangan atau adopsi teknologi usaha tani konservasi oleh petani menjadi terhambat.

4.2 Saran
Semoga paper ini dapat menambah wawasan dan sebagai sumber pengetahuan yang berguna bagi pembaca. Apabila kurang dalam materi, mohon mencari referensi lain untuk melengkapi.













DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Poternsi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran Rendah.  Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Pranaji,  T. 2006.  Pengembangan Kelembagaan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air.  Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3) : 236-255.
Syamsiah, I. dan A.M Fagi. 1997.  Teknologi Embung.  Sumberdaya Air dan Iklim dalam mewujutkan Pertanian Efisien.  Kerjasama Departemen Pertanian dengan Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Scherr, S.J. 2003.  Hunger, Proverty and Biodiversity  in Developing Countries. A. Paper for the Mexico Summit, 2-3 June 2003, Mexico.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunder Company. Philadelphia.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar