BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Peralihan fungsi lahan sebagai areal
yang tidak dipergunakan dalam pertanian terutama dikota-kota yang mayoritas
penduduknya banyak melebihi kapasitas yang diberlakukan menyebabkan banyak
dampak negatif , dampak yang terjadi cukup merugikan. Sisi lain dari itu semua
adalah sebab yang akan diterimanya akan terjadi suatu kelebihan kapasitas air
bahkan berkurang dari seharusnya dan memicu hujan tidak berkeseimbangan yang
disertai dengan mampu atau tidaknya tanah yang dimaksud dalam upaya menyerap
air dan menampungnya, karena semua itu diakibatkan tidak cukupnya kapasitas
areal dalam melakukan serapan dikala dibutuhkannya. Lahan kering di Indonesia mempunyai potensi yang sangat besar untuk
pembangunan pertanian. Namun, produktivitas umumnya rendah, kecuali sistem
pertanian lahan kering dengan tanaman tahunan/perkebunan. Pada usaha tani
lahan kering dengan tanaman pangan semusim, produktivitas relatif rendah serta
menghadapi masalah sosial ekonomi seperti tekanan penduduk yang terus meningkat
dan masalah biofisik (Sukmana 1994). Lahan kering terutama di daerah aliran
sungai (DAS) bagian hulu umumnya menghadapi masalah kerusakan lingkungan yang
makin parah sehingga menurunkan produktivitas lahan, meningkatkan erosi dan
sedimentasi, serta memacu meluasnya banjir pada musim hujan. Masalah tersebut
memerlukan perhatian serius karena dapat menghambat pembangunan pertanian
khususnya peningkatan produksi pangan.
Ada beberapa hal yang juga menjadi
penyebab dalam keterbukaannya areal tersebut
baik diambilnya penyanggah dalam mengatasi terjadinya tidak cukupnya
daya serapan diareal pertanian, lahan yang terbuka dapat mempercepat laju dalam
aliran suatu permukaan Dalam suatu
DAS Daerah Aliran Sungai, hidrologi (tata air) yang rusak dapat dilihat
dari kejernihan air sungai wilayah DAS tersebut, jika air berwarna keruh, pada
saat hujan, maka dapat dipastikan secara fakta lapangan kondisi DAS wilayah
tersebut telah rusak, artinya banyak areal yang terbuka. Maka yang banyak
terjadi dikalangan adalah banjir ataupun kekeringan karena tidak adanya
keseimbangan terhadapnya, sangat diperlukan keseimbangan alam itu dalam kwasan
DAS yang perlu kelestarian pertahanan dengan sumber daya hutan dengan akurasi
maksimal yang disertai realitas pada dampak tersebut. Sebenarnya peran dari
sebuah areal yang strategis itu diperlukan dengan banyaknya rehabilitasi
terhadap penanggulangan dan pemanfaatan DAS lahan basah atau yang dikenal
Wetlands. Di mana manfaat yang diperoleh dapat secara langsung, maupun tidak
langsung, jangka menengah maupun panjang. DAS. Diharapkan dengan melihat
sejauhmana peran Wetlands, bagi kelestarian fungsi DAS, akan menjadi trend
(model), bagi daerah-daerah yang memiliki wetlands yang cukup luas, tidak hanya
menelantarkannya.
Upaya mengatasi
masalah lahan kritis di DAS perlu memperhatikan beberapa hal, antara lain
sumber terjadinya lahan kritis, tingkat kekritisan lahan, jenis tanah dan
iklim, kondisi sosial ekonomi, dan tingkat bahaya erosi. Upaya itu perlu
diformulasikan dengan tepat dalam tiga komponen penanganan, yaitu terbaikan teknologi, kebijakan yang tepat,
dan partisipasi masyarakat secara penuh (Nelson 1991). Berdasarkan tingkat
kekritisan lahan, selanjutnya ditetapkan prioritas penanganan Dengan memperhatikan dampak yang lebih luas dan
kemungkinan keberhasilan yang besar, maka prioritas utama penanganan adalah
lahan dengan tingkat kekritisan ringan, yaitu lahan yang berpotensi kritis dan
semikritis. Konservasi ditujukan untuk mencegah terjadinya degradasi lebih
lanjut dan menghindari hilangnya lahan produktif.
1.2 Rumusan Masalah
- Upaya
apa saja yang telah dilakukan pemerintah untuk menangani lahan kering di
Daerah perkotaan?
- Faktor apa saja yang mendukung upaya pengembangan usaha
tani?
1.3
Tujuan
1. Untuk mengetahui cara
mengelola lahan kering
2 Untuk mengetahui teknik
pengolahan pada lahan basah.
3
Untuk mengetahui sisi permasalahan terhadap keduanya.
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA
Definisi yang diberikan
oleh soil Survey Staffs (1998) dalam Haryati (2002), lahan kering adalah
hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air selama periode
sebagian besar waktu dalam setahun.
Indonesia memiliki lahan
kering masam cukup luas yaitu sekitar 99,6 juta hektar dan tersebar di
Kalimantan, Sumatera, Maluku, Papua, Sulawesi, Jawa dan Nusa Tenggara
(Soebagyo,et al., 2004; Hidayat dan Mulyani, 2005).
Lahan
kering adalah bagian dari ekosistem teresterial yang luasnya relatif luas
dibandingkan dengan lahan basah (Odum, 1971).
Selanjutnya menurut Hidayat
dkk (2000) lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air
atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Lahan kering
secara keseluruhan memiliki luas lebih kurang 70 %. Pada saat ini
pemanfaatan lahan kering untuk keperluan pertanian baik tanaman semusim
maupun tanaman tahunan/ perkebunan sudah sangat berkembang. Pertambahan
jumlah penduduk yang terjadi dengan sangat cepat menyebabkan kebutuhan akan
bahan pangan dan perumahan juga akan meningkat. Sejalan dengan itu
pengembangan lahan kering untuk pertanian tanaman pangan dan perkebunan
untuk memenuhi kebutuhan sudah merupakan keharusan. Usaha intensifikasi
dengan pola usaha tani belum bisa memenuhi kebutuhan. Upaya lainnya
dengan pembukaan lahan baru sudah tidak terelakkan lagi.
Lahan
kering dapat dibagi dalam dua golongan yaitu lahan kering dataran rendah
yang berada pada ketinggian antara 0 – 700 meter dpl dan lahan kering dataran
tinggi barada pada ketinggi diatas 700 meter dpl (Hidayat, 2000).
Lahan
kering di Indonesia menempati lahan tanpa pembatas, kesuburan rendah, lahan
dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal dan lahan dengan
perbukitan. Relief tanah ikut menentukan mudah dan tidaknya
pengelolaan lahan kering. Menurut Subagio dkk (2000) relief tanah sangat
ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian. Ditinjau dari
bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering
relatif lebih berat dibandingkan dengan lahan basah (sawah). Hinnga saat
ini perhatian berbagai pihak terhadap pengelolaan lahan kering secara
berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan pengelolaan lahan sawah
dataran rendah (Irawan dan Pranadji, 2002).
Pemanfaatan
lahan kering di daerah perbukitan dan pegunungan untuk pertanian semusim untuk
menghasilkan bahan pangan banyak dijumpai dan dilakukan penduduk yang bermukim
di pedesaan. Dengan pemanfaatan lahan kering di pegunungan dan perbukitan
secara terus menerus tanpa memperhatikan kaidah konservasi akan menyebabkan
terjadinya erosi dan penurunan kesuburan yang berat. Di negara
sedang berkembang termasuk Indonesia, kerusakan lahan ini umumnya bertmuara
pada merebaknya kemiskinan dan kelaparan. Sedangkan secara ekologi
akan mengganggu keseimbangan ekosistim terjadi penurunan kekayaan hayati
yang berat (Scherr, 2003)
Konservasi
lahan didefinisikan sebagai penerapan berbagai tindakan atau perlakuan yang
diperlukan pada suatu lahan usaha tani, agar terjadi peningkatan produksi dan
membangun produktivitas tanah yang dilakukan pada saat bersamaan. Hal ini
berarti membuat tanah menghasilkan produksi yang berlimpah dari tahun ketahun
untuk masa yang tidak terbatas, juga berarti membangun ketahanan tanah
(Irwanto, 2006).
Pengertian
yang lain tentang konservasi lahan adalah penggunaan lahan sesuai dengan
kemampuannya, dan memberikan perlakuan kepada lahan sesuai dengan syarat-syarat
yang diperlukan, agar lahan tidak rusak dan dapat dipergunakan serta dapat
tetap produktif untuk waktu yang tidak terbatas. Pengertian produksi disini
tidak terbatas hanya pada komoditi fisik seperti padi, serat, kayu dan air
tetapi juga dalam artian non fisik seperti kenyamanan, keindahan dan sebagainya
(Arsyad, 1985).
Menurut
Arsyad (1985), metode konservasi tanah yang merupakan tindakan atau perlakuan
atau fasilitas yang dapat digunakan untuk mencegah kerusakan tanah atau untuk
memperbaiki tanah-tanah yang telah rusak. Metode ini pada dasarnya dibagi dalam
dua golongan, yaitu: metode vegetatif dan metode mekanik.
Metode
vegetatif adalah penggunaan tumbuhan atau tanaman dan sisa-sisanya. Termasuk
dalam metode ini adalah penanaman pohon, penanaman rumput, pergiliran tanaman
atau tumbuhan seperti mulsa dan pupuk hijau. Fungsi metode vegetatif adalah
mencegah butir hujan yang jatuh sehingga mengurangi pukulan terhadap permukaan
tanah, mengurangi jumlah air yang sampai dipermukaan tanah, mengurangi dan
menghambat kecepatan serta daya rusak aliran permukaan dan memperbesar
kapasitas infiltrasi.
Metode
mekanik adalah pembuatan bangunan-bangunan pencegahan erosi dan manipulasi
mekanik tanah dan permukaan tanah. Termasuk dalam metode ini adalah pengolahan
tanah menurut kontur, penanaman dan pengolahan menurut kontur (contour
farming), pananaman dalam strip, pembuatan guludan, teras, saluran pengalih,
saluran pembuangan, rorak, dan sebagainya. Fungsi metode mekanik adalah memperlambat
aliran permukaan dan mengalirkannya dengan kecepatan yang tidak merusak serta
memperbesar infiltrasi air ke dalam tanah.
Kemantapan
struktur tanah merupakan salah satu faktor yang menentukan terjadinya erosi
pada tanah. Sehubungan dengan itu, maka dilakukan pemantapan struktur tanah
dengan cara vegetatif ataupun cara kimia. Pemantapan struktur tanah dengan cara
kimia telah dikembangkan sejak tahun 1950 dengan menggunakan bahan kimia
pemantap tanah (soil conditioner). Ada beberapa macam bahan pemantap tanah yang
sering digunakan dan hal ini merupakan bahan impor karena belum diproduksi di
dalam negeri.
Daerah
aliran sungai (DAS) dapat diartikan sebagai kawasan yang dibatasi oleh pemisah
topografis yang menampung, menyimpan dan mengalirkan air hujan yang jatuh di
atasnya ke sungai yang akhirnya bermuara ke danau atau laut (Manan, 1979).
Daerah
Aliran Sungai disingkat DAS ialah istilah geografi mengenai sebatang sungai,
anak sungai dan area tanah yang dipengaruhinya (Arsyad, 1985).
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara, serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau (Irwanto, 2006).
Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen, dan unsur hara, serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau (Irwanto, 2006).
Konservasi
DAS adalah perlindungan daerah aliran sungai agar terhindar dari kerusakan
akibat pemanfaatan yang tidak sesuai dengan kemampuan leingkungan itu sendiri
(Irwanto, 2006).
Konservasi
lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kelas
kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah agar lahan
dapat digunakan secara lestari (Deptan, 2009).
Mengingat
DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan
pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS
bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek aspek yang
berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan
ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses
alami daur hidrologi.
DAS
bagian hulu mempunyai arti penting terutama dari segi perlindungan fungsi tata
air, karena itu setiap terjadinya kegiatan di daerah hulu akan menimbulkan
dampak di daerah hilir dalam bentuk perubahan fluktuasi debit dan transport
sedimen serta material terlarut dalam sistem aliran airnya. Dengan perkataan
lain ekosistem DAS, bagian hulu mempunyai fungsi perlindungan terhadap
keseluruhan DAS.
Permasalahan
pengelolaan DAS dapat dilakukan melalui suatu pengkajian komponen komponen DAS
dan penelusuran hubungan antar komponen yang saling berkaitan, sehingga
tindakan pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan tidak hanya bersifat
parsial dan sektoral, tetapi sudah terarah pada penyebab utama kerusakan dan
akibat yang ditimbulkan, serta dilakukan secara terpadu. Salah satu persoalan
pengelolaan DAS dalam konteks wilayah adalah letak hulu sungai yang biasanya
berada pada suatu kabupaten tertentu dan melewati beberapa kabupaten serta
daerah hilirnya berada di kabupaten lainnya. Oleh karena itu, daerah daerah
yang dilalui harus memandang DAS sebagai suatu sistem terintegrasi, serta
menjadi tanggung jawab bersama.
BAB III PEMBAHASAN
Upaya
yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pembangunan pertanian yang
dipusatkan pada kedua aspek yaitu pada padi sawah dan DAS. Program khusus untuk
penanganan lahan kering adalah program penghijauan dan reboisasi untuk tanah
negara. Program reboisasi dan penghijauan bertujuan untuk menghentikan proses
pengkritisan lahan dan mengurangi jumlah lahan kritis. Untuk meningkatkan usaha
tersebut, pemerintah mencanangkan Gerakan Satu Juta Pohon (Direktorat Jenderal
Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, 1985). Sedangkan penghijauan merupakan cara
konservasi lahan yang efektif khususnya untuk menjaga fungsi hidrologis lahan
di DAS hulu.
Menurut
Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan, Tanah, dan Air (1990), menyatakan bahwa
penanganan lahan kering di DAS dilakukan dengan usaha tani konservasi yang
mengkombinasikan teknik konservasi secara mekanik dan vegetatif dalam suatu
pola usaha tani terpadu. Sasaran penanganan tersebut adalah meningkatkan
produktifitas usaha tani dan pendapatan petani, menurunkan laju erosi, serta
meningkatkan partisipasi petani dalam pelestarian sumber daya tanah dan air.
Menurut Wudianto (1990), erosi yang terjadi dapat dicegah dengan melakukan
langkah-langkah yang meliputi: (a) menjaga tanah supaya terhindar dari
penghancuran dan pengangkutan oleh air hujan; (b) melakukan penutupan pada
permukaan tanah dengan menggunakan tanaman atau sisa-sisa tanaman (mulsa); (c)
mengatur aliran permukaan dengan kekuatan alir yang tidak merusak tanah.
Menurut
Prawiradiputra et al. (1995), menjelaskan bahwa pengelolaan DAS di Indonesia
merupakan kegiatan multi-sektoral yang telah dituangkan dalam Program Inpres
Reboisasi dan Penghijauan (Inpres No. 8/1976). Dalam Inpres tersebut dinyatakan
bahwa ada enam instansi pemerintah pusat yang bertanggung jawab atas
pelaksanaan program tersebut, yaitu Departemen Dalam Negeri (instansi
pimpinan), Departemen Kehutanan ( perencanaan dan pemantauan), Depatemen
Keuangan (pengawas keuangan), Departemen Pertanian (bantuan teknis), Departemen
pekerjaan Umum (bantuan teknis), dan Bappenas.
Menurut Pusat Pengembangan Agribisnis (1991), tingkat adopsi teras melalui rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) pada daerah unit pelestarian sumber daya alam (UPSA) masih rendah yaitu 33%. Sejumlah petani (20%) sudah mengadopsinya tetapi masih perlu ditingkatkan, sedangkan sisanya belum mengadopsi upaya RLKT tersebut. Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) yang lebih dikenal dengan nama UACP, juga mempunyai tujuan pokok bukan sematamata meningkatkan penghasilan petani, tetapi juga melindungi infrastruktur (waduk, saluran irigasi) di bagian hilirnya. Daerah kerja UACP meliputi lahan kering dengan kemiringan 15% dan erosi sudah mengancam produktivitas lahan. Melalui kegiatan UACP dilakukan penyempurnaan teras bangku dengan tanaman penguat teras yang selain berfungsi untuk menstabilkan lahan juga untuk menyediakan pakan ternak. Proyek tersebut dikelola secara lintas sektoral dengan Departemen Dalam Negeri selaku pelaksana utama (leading agency) (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air 1985). Kebijakan pengembangan lahan kering di DAS bagian hulu berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No.175/Kpts/RC.220/4/1987 tentang Pedoman Pola Pembangunan di DAS yang dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kesesuaian lahan, kemiringan lahan, kultur teknis, dan asas-asas konservasi yang berwawasan lingkungan (Departemen Pertanian 1987). Di Jawa Tengah, kebijakan tersebut telah dijabarkan dalam berbagai petunjuk pelaksanaan yang berisikan strategi, langkah-langkah, dan kegiatan pembinaan.
Menurut Pusat Pengembangan Agribisnis (1991), tingkat adopsi teras melalui rehabilitasi lahan dan konservasi tanah (RLKT) pada daerah unit pelestarian sumber daya alam (UPSA) masih rendah yaitu 33%. Sejumlah petani (20%) sudah mengadopsinya tetapi masih perlu ditingkatkan, sedangkan sisanya belum mengadopsi upaya RLKT tersebut. Proyek Pertanian Lahan Kering dan Konservasi Tanah (P2LK2T) yang lebih dikenal dengan nama UACP, juga mempunyai tujuan pokok bukan sematamata meningkatkan penghasilan petani, tetapi juga melindungi infrastruktur (waduk, saluran irigasi) di bagian hilirnya. Daerah kerja UACP meliputi lahan kering dengan kemiringan 15% dan erosi sudah mengancam produktivitas lahan. Melalui kegiatan UACP dilakukan penyempurnaan teras bangku dengan tanaman penguat teras yang selain berfungsi untuk menstabilkan lahan juga untuk menyediakan pakan ternak. Proyek tersebut dikelola secara lintas sektoral dengan Departemen Dalam Negeri selaku pelaksana utama (leading agency) (Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan Tanah dan Air 1985). Kebijakan pengembangan lahan kering di DAS bagian hulu berpedoman pada Surat Keputusan Menteri Pertanian No.175/Kpts/RC.220/4/1987 tentang Pedoman Pola Pembangunan di DAS yang dalam pelaksanaannya perlu memperhatikan kesesuaian lahan, kemiringan lahan, kultur teknis, dan asas-asas konservasi yang berwawasan lingkungan (Departemen Pertanian 1987). Di Jawa Tengah, kebijakan tersebut telah dijabarkan dalam berbagai petunjuk pelaksanaan yang berisikan strategi, langkah-langkah, dan kegiatan pembinaan.
3.3
Faktor Pendukung Upaya Pengembangan Usaha Tani di Lahan Kering
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi usaha tani konservasi lahan kering adalah: (1) komitmen dan dukungan pemerintah daerah; (2) adanya keterkaitan peneliti, penyuluh dan kelompok tani; (3) tingkat partisipasi petani; (4) sistem pendukung/pelayanan, dan; (5) kelayakan teknologi anjuran dan tingkat adopsi. Dukungan pemerintah daerah dalam penerapan teknologi konservasi sangat penting karena petani kurang mampu melaksanakan teknologi konservasi secara mandiri. Selain dukungan dari atas, peran kelompok tani dan lembaga-lembaga pedesaan juga sangat penting. Integrasi proyek dengan lembaga pedesaan seperti LKMD dan kelompok tani serta adanya kerja sama antara peneliti, penyuluh, aparat desa, dan petani telah memperkuat kemampuan desa dalam pengembangan sistem usaha tani konservasi. Keterkaitan antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani sangat penting. Asisten lapang dan (3-4 orang di tiap lokasi) yang tinggal di desa memudahkan komunikasi dengan kelompok tani dan koordinasi dengan penyuluh lapangan. Partisipasi petani umumnya sangat baik pada awal proyek, tetapi selanjutnya menurun. Telah disadari bahwa peran lembaga pelayanan seperti lembaga pemasaran, perkreditan, dan penyalur sarana produksi sangat penting dalam proses adopsi teknologi usaha tani konservasi di DAS bagian hulu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengembangan teknologi usaha tani konservasi lahan kering adalah: (1) komitmen dan dukungan pemerintah daerah; (2) adanya keterkaitan peneliti, penyuluh dan kelompok tani; (3) tingkat partisipasi petani; (4) sistem pendukung/pelayanan, dan; (5) kelayakan teknologi anjuran dan tingkat adopsi. Dukungan pemerintah daerah dalam penerapan teknologi konservasi sangat penting karena petani kurang mampu melaksanakan teknologi konservasi secara mandiri. Selain dukungan dari atas, peran kelompok tani dan lembaga-lembaga pedesaan juga sangat penting. Integrasi proyek dengan lembaga pedesaan seperti LKMD dan kelompok tani serta adanya kerja sama antara peneliti, penyuluh, aparat desa, dan petani telah memperkuat kemampuan desa dalam pengembangan sistem usaha tani konservasi. Keterkaitan antara peneliti, penyuluh, dan kelompok tani sangat penting. Asisten lapang dan (3-4 orang di tiap lokasi) yang tinggal di desa memudahkan komunikasi dengan kelompok tani dan koordinasi dengan penyuluh lapangan. Partisipasi petani umumnya sangat baik pada awal proyek, tetapi selanjutnya menurun. Telah disadari bahwa peran lembaga pelayanan seperti lembaga pemasaran, perkreditan, dan penyalur sarana produksi sangat penting dalam proses adopsi teknologi usaha tani konservasi di DAS bagian hulu.
Selain
itu, adanya perbedaan faktor fisik dan sosial-ekonomi petani menyebabkan
teknologi yang dianjurkan juga perlu disesuaikan dengan kondisi yang ada. Di
lahan kering DAS, petani banyak yang telah mengadopsi teknologi system usaha
tani konservasi karena mereka sudah mengetahui manfaatnya. Legum penutup tanah
misalnya dapat memperbaiki kesuburan tanah sehingga meningkatkan hasil ubi kayu
dan jagung 0,30 ton pipilan kering. Adopsi teknologi bukan hanya terjadi pada
petani kooperator, tetapi juga pada petanin onkooperator, seperti teknologi
pembuatan teras, penanaman tanaman penguat teras, pembuatan saluran pembuanga
nair (SPA), pola tanam, dan penggunaan varietas unggul padi gogodan jagung.
Terdapat tiga aspek pendukung yang perlu diperhatikan dalam program
pengembangan atau transfer teknologi usahatani konservasi kepada petani, yaitu
aspek pemasaran, aspek teknis, dan aspek sosial ekonomi.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Upaya
mengatasi masalah lahan kering kritis di DAS perlu memperhatikan beberapa hal,
antara lain sumber terjadinya lahan kritis, tingkat kekritisan lahan, jenis
tanah dan iklim, kondisi sosial ekonomi, dan tingkat bahaya erosi. Upaya itu
perlu diformulasikan dengan tepat dalam tiga komponen penanganan, yaitu
perbaikan teknologi, kebijakan yang tepat, dan partisipasi masyarakat secara
penuh.
Pengembangan
teknologi usaha tani konservasi perlu didukung oleh pemerintah daerah, kerja sama
peneliti, penyuluh dan petani, lembaga pelayanan, dan partisipasi petani.
Dukungan yang kurang optimal akan menyebabkan pengembangan atau adopsi
teknologi usaha tani konservasi oleh petani menjadi terhambat.
4.2 Saran
Semoga
paper ini dapat menambah wawasan dan
sebagai sumber pengetahuan yang berguna bagi pembaca. Apabila kurang dalam
materi, mohon mencari referensi lain untuk melengkapi.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat,
A., Hikmatullah, dan D. Santoso. 2000. Poternsi dan Pengelolaan Lahan Kering Dataran
Rendah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian Dan
Pengembangan Pertanian. Bogor.
Pranaji,
T. 2006. Pengembangan Kelembagaan dan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan
Air. Analisis Kebijakan Pertanian, 3(3) : 236-255.
Syamsiah, I. dan A.M
Fagi. 1997. Teknologi Embung. Sumberdaya Air dan Iklim dalam
mewujutkan Pertanian Efisien. Kerjasama Departemen Pertanian dengan
Perhimpunan Meteorologi Pertanian Indonesia (PERHIMPI).
Scherr, S.J. 2003.
Hunger, Proverty and Biodiversity in Developing Countries. A. Paper for
the Mexico Summit, 2-3 June 2003, Mexico.
Odum,
E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Saunder Company. Philadelphia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar